Selama ini, ekonomi kreatif sering diasosiasikan dengan generasi muda. Anak-anak muda dianggap lebih melek teknologi, fleksibel, dan berani mencoba hal baru—termasuk dalam dunia digital, konten, dan industri kreatif lainnya. Namun, benarkah hanya anak muda yang cocok di sektor ini? Kenyataannya, generasi tua justru memiliki potensi besar yang belum dimaksimalkan dalam geliat ekonomi kreatif.
Menyingkap Potensi yang Tersembunyi
Generasi tua—yang kita maksud adalah mereka yang berusia di atas 50 tahun—memiliki modal berharga: pengalaman dan keahlian. Banyak dari mereka merupakan pensiunan guru, pengrajin, mantan chef, mantan wartawan, bahkan pekerja administrasi yang sangat teliti. Semua ini adalah aset luar biasa yang bisa diterjemahkan ke dalam bentuk ekonomi kreatif.
Misalnya, seorang mantan guru bahasa Indonesia bisa menjadi penulis konten, editor naskah, bahkan pembuat modul digital. Seorang ibu rumah tangga berusia 60-an yang piawai membuat kue tradisional bisa mengemas resepnya menjadi e-book atau kelas daring. Sayangnya, peluang-peluang ini jarang sekali dipopulerkan atau difasilitasi secara serius.
Tantangan: Kesenjangan Digital dan Psikologis
Meski peluangnya besar, tantangannya juga nyata. Hal yang paling mencolok adalah gap teknologi. Banyak generasi tua merasa teknologi bukan “dunia mereka”. Gawai pintar, aplikasi editing, platform digital—semua itu terdengar asing atau membingungkan. Namun, bukan berarti tidak bisa dipelajari.
Kesenjangan lainnya adalah keraguan diri. Generasi tua sering merasa mereka “sudah lewat masa produktif” atau “tidak punya sesuatu yang layak jual”. Padahal, dalam ekonomi kreatif, pengalaman dan cerita hidup justru sangat bernilai. Konten dengan sentuhan autentik dari pengalaman hidup panjang sering kali lebih menyentuh dan relatable.
Solusi: Edukasi dan Pendekatan yang Relevan
Agar generasi tua bisa terlibat dalam ekonomi kreatif, kuncinya ada pada pendekatan edukasi yang empatik dan relevan. Jangan menyodorkan teknologi baru dengan jargon teknis. Ajarkan bagaimana hasil kerja mereka bisa dimonetisasi secara nyata. Misalnya:
- Kelas daring membuat kerajinan tangan, memasak, atau menjahit dengan sistem bagi hasil.
- Pendampingan membuat e-book atau audio book dari kisah masa muda atau petuah bijak.
- Pelatihan dasar membuat konten video sederhana (bahkan hanya dengan HP) untuk berbagi pengalaman dan hobi.
Pemerintah, komunitas kreatif, dan startup bisa memainkan peran besar di sini. Dengan membuat ruang belajar intergenerasi, maka anak muda bisa menjadi fasilitator dan generasi tua sebagai sumber cerita dan kearifan.
Manfaat Ekonomi Kreatif bagi Generasi Tua
Manfaat yang didapat bukan sekadar finansial. Yang lebih penting, mereka mendapatkan tujuan baru dan koneksi sosial. Kegiatan kreatif dapat membantu mengatasi kesepian, stres pasca-pensiun, bahkan memperkuat kesehatan mental. Menjadi bagian dari komunitas dan terus merasa produktif juga terbukti memperpanjang usia harapan hidup secara kualitas.
Di Jepang misalnya, banyak lansia yang kini menjadi bintang YouTube karena membagikan resep kuno. Di Korea Selatan, nenek-nenek belajar coding dan mengajar kembali ke anak-anak muda. Di Indonesia? Potensinya luar biasa, tinggal bagaimana kita membukakan pintunya.
Penutup: Kreativitas Tak Kenal Usia
Ekonomi kreatif bukan milik anak muda saja. Ia adalah ruang terbuka bagi siapa saja yang punya ide, keahlian, dan cerita. Termasuk mereka yang rambutnya sudah memutih, tapi semangatnya masih menyala.
Dengan pendekatan yang ramah, pelatihan yang membumi, dan keberanian untuk membuka peluang, kita bisa menyaksikan generasi tua menjadi pemain baru di ekonomi kreatif. Tak hanya menjadi penonton atau konsumen, tapi juga kreator yang produktif dan membanggakan.
Leave a Reply